Kamis, 02 Januari 2014

Cerpen



Di Bawah Serpihan Hujan

Untuk setiap tetes air yang mendenting kaca jendela…
Ada ucapan rindu.
Salam teruntuk rindu nan mendalam yang meluruh bersama duka
Menyamar nestapa di balik sendu.

Lagi-lagi hujan.
Pria bertubuh tinggi langsing itu meraih payungnya yang berwarna keperakan. Sudah satu minggu berturut-turut hujan turun, berebutan mencumbu bumi Jerman. Bukan hal yang buruk, mengingat betapa panasnya musim panas yang lalu. Sudah masuk musim gugur, angin September yang dingin mulai berhembus. Dedaunan mulai berguguran, seolah bersuka cita akan datangnya musim gugur.
Pria itu tidak pernah membenci hujan, hanya saja, siapapun akan membenci hujan apabila harus ke suatu tempat dalam keadaan mobil pribadinya masih berada di bengkel untuk perbaikan.
Terpaksa mengambil kendaraan umum, Hari berjalan cepat keluar dari apartemennya. Ia sengaja mengenakan hoodie warna putih yang tidak mencolok, celana jins butut dan sneakers putih yang sama bututnya. Sekaligus menyandang ransel warna biru, berisi pakaiannya yang lebih pantas untuk dikenakan. Mana mungkin dia menemui atasannya di Gucci dengan pakaian seperti itu.

Buat setiap kilas yang membayang selaik hantu
Samar, namun jelas
‘Kan menjelang haturan selama tinggal padamu
Senaas petang nan kelabu yang melukis mega.

Bagi sebagian orang, dongeng hanyalah isapan jempol belaka, yang mudah terlupa, papa diseka waktu.
Bagi Hari, putri hujan dan ksatrianya bukan sekedar dongeng.
Tersebutlah Fathya, putrinya yang mencinta akan hujan. Duduk di tepian jendela setiap kali hujan datang menyapa, seolah melepas rindu akan serbuan butir-butir air yang tak kalah merindu akan bumi pertiwi.

Tidakah kau menghirupnya, ujar perempuan itu, tidakah kau merasaakannya?
Harum hujan merasuk sukmaku.

Berbagai majas, gaya bahasa dan setiap tutur perempuan itu berbobot, seakan tiada kata yang lahir dari lisannya yang sempurna terucap percuma, Semua sarat akan makna.
Sebagai ksatria yang telah bersumpah untuk menjaga putri itu, bagaimanapun caranya, tentu ia hanya mampu mengulas senyum. Berusaha memahami hati putrinya yang terlampau cantik untuk ia pahami. Nampak indah dari parasnya, santun lisannya, kerlip di kedua bola matanya yang sewarna obsidian.
Adalah tugas seorang ksatria untuk menjaga putrinya. .
Buat getir yang terdera perih
Kan abai diriku,
Bahkan bila mampu hujan meluruh pedih
Biar waktu saja yang hapus liku luka batin, semu.

Hujan semakin deras. Hari membuka payungnya yang berwarna keperakan. Segera sosoknya menyelip, timbul-tenggelam di antara lautan manusia Jerman yang menyebrang jalan untuk sampai di halte bus.
Separuh berlari, kakinya menjejak bumi tegas, Sepatunya kini sudah kuyup terbasuh air hujan, Tapi peduli apa ? Ia ingin berlari, terus berlari. Berlari dari luka yang mendadak muncul dihatinya.

luruh hujan yang menderas bumi,
Yang hanyutkan bermacam labirin luka
Bisakah kau pinta waktu demi hapuskan luka ini?
Biar hati menetap untuk menatap, tegar di balik sandiwara.
Aku pergi, ujar putri itu. Kau bisa menjagaku hingga aku kembali?

Bayangkan betapa sakit hati ksatria itu, ketika sang putri hanya diam tanpa kata. Ketika Hari bertanya perihal alasan dirinya pergi, semua dijawab Fathya dengan bisu.
Emosi mendera. Seluruh sel tubuh Hari menjeritkan penyesalan akan ledakan emosi yang melandanya. Sebuah bentakan yang tak terkendali melayang darinya.
MENGAPA? KAU MEMBENCIKUKAH? SEPERLU ITUKAH KAU PERGI?
Kau tidak mau menantiku? Justru pertanyaan polos itu balasan atasnya. Ksatria itu memutuskan untuk diam, pergi meninggalkan Fathya yang tergugu dalam sunyi. Sedih.
Aku jatuh cinta kepadamu, Hari menjerit dalam hati. Namun lisannya terkunci. Aku jatuh cinta kepadamu, hingga terasa sakit hanya dengan melihat keberadaanmu.
Aku jatuh cinta kepadamu.
Sebuah pengakuan melayang dari bibir Hari, dibalas bisu seribu kalam oleh Fathya. Pengakuan tanpa balas. Hari sakit hati. Seolah gadis itu tidak menjawab, entah tersanjung, Atau tersinggung. Berbagai pikiran dan sugesti akan probabilitas tanggapan Fathya akan pengakuannya berkecamuk, membuatnya nyaris berteriak. Gila.
Fathya hanya tersenyum, kecil tanpa makna. Langkahnya kecil, perlahan menjauh, Seolah tidak rela meninggalkan sesuatu yang berharga. Tatapan matanya sendu, tak lagi nampak binarnya. Binar yang biasa hadir di balik sepasang mata kumbang itu ketika menatapi hujan, Binar yang biasa menghuni kedua bola matanya ketika mereka duduk berdua, takzim menyaksikan panorama senja yang menorehkan lini jingga di horizon barat. Seolah Hari telah merenggut binar itu dan mematikannya. Sehingga hanya senyum itu yang menghiasi paras ayunya.
Fathya Zaela, kau cantik sekali dengan senyummu yang sedih…
Buat hujanku, yang mewarna senja
Merona layu, bagai sedih nian
Bila temu sua selanjutnya akan lama membilang masa
Kenankan aku menunggu hingga jadi waktu dibangun.

Halte bus itu penuh sesak akan orang-orang yang hendak naik bus. Semua orang berdesak-desakan, hingga tak ayal Hari pun turut terdesak. Berdecak kesal, pria itu mengatupkan kembali payung keperakannya. Sudah basah kuyup, tubuhnya terdesak-desak kerumunan calon penumpang, mobilnya masih di bengkel, ia nyaris terlambat, belum lagi sepatunya basah. Jelas hari sialnya.
Sebuah bus berlalu begitu saja, mengangkut sebagian besar dari calon penumpang yang berdesakan di halte tersebut. Kini hanya tinggal beberapa orang saja, setia menunggu bus yang akan ditumpangi. Hari masih asyik dengan lamunannya sendiri ketika sehelai kertas mampir ke wajahnya, tertiup angin dingin.
“Ah, maaf, itu kertasku.”
Suara feminin itu membuat Hari segera menoleh. Tak salah lagi, sosok semampai yang kini sedang menatapinya itu. Dia. Tangan perempuan itu, yang semula hendak mengambil kertas yang mampir ke wajah Hari, terhenti di udara. Nampak parasnya yang ayu juga tak kalah terkejutnya dengan Hari.
Di bawah melodi rinai hujan, putri dan ksatrianya dipertemukan kembali.

Demikian, hingga telah tuntas masa membilang dirinya,
Dua anak manusia menemukan sepotong jiwanya dalam satu sama lain
Di belantara deru angin yang mereguk rindu keduanya,
Bahkan anak-anak hujan turut bersuka cita atasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar