Senin, 04 Juni 2012

TUGAS PERKINDO MINGGU 11


KEBIJAKAN PEMERINTAH PER-PERIODE

Berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang : Pembaharuan kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan, tertanggal 5 Juli 1966, antara lain menetapkan :
1)    Program stabilisasi dan rehabilitasi : 1966 – 1968 (jangka pendek)

·         Skala Prioritasnya
a)      Pengendalian inflasi
b)       Pencukupan kebutuhan pangan
c)       Rehabilitasi prasarana ekonomi
d)      Peningkatan kegiatan ekspor
e)      Pencukupan kebutuhan sandang

·         Tindakan dan Kebijaksanaan Pemerintah
a)      Tindakan pemerintah “banting stir” dari ekonomi komando ke ekonomi bebas demokratis;           dari ekonomi tertutup ke ekonomi terbuka; dari anggaran defisit ke anggaran berimbang.           (Mubyarto, 1988).
b)        Serangkaian kebijaksanaan Oktober 1966, Pebruari 1967 dan Juli 1967 antara lain :
                       i.        Kebijaksanaan kredit yang lebih selektif (penentuan jumlah, arah, suku bunga)
                      ii.        Menseimbangkan/ menurunkann defisit APBN dari 173,7% (1965), 127,3% (1966), 3,1%         (1967) dan 0% (1968). (Suroso, 1994).
                    iii.          Mengesahkan / memberlakukan undang – undang :
§  UU Pokok Perbankan No.14/ 1967
§  UU Perkoperasian No. 12/ 1967
§    UU Bank Sentral No. 13/ 196
§  UU PMA tahun 1967 dan PMDN tahun 1968
§  Membuka Bursa Valas di Jakarta 1967
2)   Program Pembangunan dimulai tahun 1969/ 1970 jangka panjang)
  •  Skala Prioritasnya
1.      Bidang pertanian
2.      Bidang prasarana
3.      Bidang industri/ pertambangan dan minyak
  •  Jangka waktu dan strategi pembangunan
1.      Pembangunann jangka menengah terdiri dari pembangunan Lima Tahun (PELITA) dan dimulai dengan PELITA I sejak tahun 1969/ 1970
2.      Pembangunan Jangka Panjang dimulai dengan pembangunan Jangka Panjang Tahap I
(PJPT – I) selama 25 tahun, terdiri dari :

A.    PELITA I 69 / 70 = 73 / 74
Periode Pelita I Dimulai dengan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1970, mengenai Penyempurnaan Tata Niaga Bidang Ekspor dan Impor dan Peraturn Agustus 1971, mengenai Devaluasi Mata Uang Rupiah Terhadap Dolar, dengan sasaran pokoknya adalah :
§  Kestabilan harga bahan pokok,
§  Peningkatan Nilai Ekspor
§  Kelancaran Impor
§   Penyebaran Barang di Dalam Negeri.
Titik berat pada sektor pertanian dan industri yang menunjang sektor pertanian.

B.     PELITA II 74/75 – 78/79
Kebijaksanaannya mengenai Perkreditan.
-       mendorong para eksportir kecil dan menengah,
-       mendorong kemajuan pengusaha kecil atau ekonomi lemah dengan produk Kredit Investasi Kecil (KIK).
Kebijaksanaan Fiskal,
-       Penghapusan pajak ekspor untuk mempertahankan daya saing komoditi ekspor di pasar dunia untuk menggalakkan penanaman modal asing dan dalam negeri guna mendorong Investasi Dalam Negeri.  Kebijaksanaan 15 November 1978,
-       Menaikkan hasil produksi nasional,
-   $3B    menaikkan daya saing komoditi ekspor yang lemah karena adanya inflasi yang besarnya rata-ratanya 34 % akibatnya kurang dapat bersaing dengan produk sejenis dari Negara lain dan adanya resesi dan krisis dunia pada tahun 1979.
Titik berat pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri pengolah bahan mentah menjadi bahan baku.

C.     PELITA III 79/80 – 83/84
-       Paket Januari 1982
Tatacara pelaksanaan Ekspor-Impor dan Lalu lintas devisa. Diterapkan kemudahan dalam hal pajak yang dikenakan terhadap komoditi ekspor, serta kemudahan dalam hal kredit untuk komoditi ekspor.
-       Paket Kebijaksanaan Imbal Beli (Counter Purchase)
Keharusan eksportir maupun importer uar negeri untuk membeli barang-barang Indonesia dalam jumlah yang sama.
-       Kebijaksanaan Devaluasi 1983,
yakni Dengan menurunkan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang dolar dari Rp 625/$ menjadi Rp 970/$ dengan harapan gairah ekspor dapat meningkat sehingga permintaan Negara menjadi lebih banyak dan komoditi impor menjadi lebih mahal karena diperlukan lebih banyak rupiah untuk mendapatkannya.
Titik berat sektor pertanian (swasembada beras) dengan meningkatkan industri pengolah bahan baku menjadi barang jadi

D.    PELITA IV 84/85 – 88/89
-       Kebijaksanaan INPRES No. 4 Tahun 1985, dilatarbelakangi oleh keinginan untuk meningkatkan ekspor non-migas.
-       Paket Kebijaksaan 6 Mei 1986 (PAKEM), dikeluarkan dengan tujuan untuk mendorong sector swasta di bidang ekspor maupun di bidang penanaman modal.
-       Paket Devaluasi 1986, ditempuh karena jatuhnya harga minyak di pasaran dunia yang mengakibatkan penerimaan pemerintah turun. o Paket Kebijaksanaan 25 Oktober 1986, merupakan deregulasi di bidang perdagangan, moneter dan penanaman modal dengan melakukan Penurunan Bea masuk impor untuk komoditi bahan penolong dan bahan baku, proteksi produksi yang lebih efisien, kebijaksanaan penanaman modal.
-       Paket Kebijaksaan 15 Januari 1987, melakukan peningkatan efisiensi, inovasi dan produktivitas beberapa sector indutri dalam rangka meningkatkan ekspor non-migas. o Paket Kebijaksanaan 24 Desember 1987 (PAKDES), melakukan restrukturisasi bidang ekonomi.
-       Paket 27 Oktober 1988, Kebijaksanaan deregulasi untuk menggairahkan pasar modal dan menghimpun dana masyarakat guna biaya pembangunan.
-       Paket Kebijaksanaan 21 November 1988 (PAKNOV), melakukan deregulasi dan debirokratisasi di bidang perdagangan dan hubungan Laut.
-       Paket Kebijaksanaan 20 Desember 1988 (PAKDES), memberikan keleluasaan bagi pasar modal dan perangkatnya untuk melakukan aktivitas yang lebih produktif.
Titik berat pertanian (melanjutkan swasembada pangan) dengan meningkatkan industri penghasil mesin-mesin.

E.     PELITA V 89/90 – 93/94
Sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dengan meningkatkan sektor industri penghasil komoditi ekspor, pengolah hasil pertanian, penghasil mesin-mesin dan industri yang banyakk menyerap tenaga kerja.
PELITA V meletakkan landasan yang kuat untuk tahap pembangunan selanjutnya. (Suroso, 1994). • Periode Pelita V Lebih diarahkan kepada pengawasan, pengendalian dan upaya kondusif guna mempersiapkan proses tinggal landas menuju Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua.

KEBIJAKAN MONETER

Kebijakan moneter adalah kebijakan pemerintah dalam mengatur penawaran uang (jumlah uang beredar) dan tingkat bunga.
Jika yang dilakukan adalah menambah jumlah uang beredar, maka pemerintah dikatakan menempuh kebijakan moneter ekspansif (monetary expansive). Sebaliknya jika uang beredar dikurangi, pemerintah menempuh kebijakan moneter kontraktif (monetary contractive). Istilah lain untuk kebijakan moneter kontraktif adalah kebijakan uang ketat (tight money policy).
Kebijakan moneter dilaksanakan oleh Bank Sentral. Melalui kebijakan moneter pemerintah dapat mempertahankan, menambah, mengurangi jumlah uang beredar dalam upaya mempertahankan kemampuan pertumbuhan ekonomi, sekaligus mengendalikan inflasi.
Kebijakan Moneter 13 Desember 1965
Mulai tahun 1960, kebutuhan anggaran pemerintah untuk proyek-proyek politik semakin meningkat akibat isu konfrontasi yang terus dilakukan dengan Belanda dan Malaysia. Hal ini juga disebabkan oleh besarnya pengeluran pemerintah untuk membiayai proyek-proyek mercusuar, seperti Games of the New Emerging Forces (Ganefo) dan Conference of the Emerging Forces (Conefo). Dalam rangka mempersiapkan kesatuan moneter di seluruh wilayah Indonesia, pada tanggal 13 Desember 1965, pemerintah menerbitkan sebuah alat pembayaran yang sah yang berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27/1965. Ketentuan tersebut mencakup nilai perbandingan antara uang rupiah baru dengan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus untuk Irian Barat -Rp 1 (baru) = Rp 1.000 (lama) dan Rp 1 (baru) = IB Rp 1-, serta pencabutan uang kertas Bank Negara Indonesia, uang kertas dan uang logam pemerintah yang telah beredar sebelum diberlakukannya Penpres tersebut. Sejak saat itu sampai bulan Agustus 1966, uang rupiah baru dan uang rupiah lama beredar bersama-sama. Untuk menghilangkan dualisme tersebut, semua instansi swasta diwajibkan untuk menggunakan nilai uang rupiah baru dalam perhitungan harga barang dan jasa serta keperluan administrasi keuangan. Meskipun uang rupiah baru bernilai 1.000 kali uang rupiah lama, tidak berarti bahwa harga-harga menjadi seperseribu harga lamanya. Kebijakan ini justru meningkatkan beban pemerintah, jumlah uang beredar, dan inflasi.
Bayangkan bila dalam suatu negara terdapat beberapa jenis mata uang yang berlaku dengan nilai tukar yang berbeda-beda. Hal itu tentu saja, akan menyebabkan situasi moneter negara tersebut kacau balau. Keadaan tersebut pernah dialami Indonesia pada kurun waktu 1960-an. Dalam rangka menciptakan kesatuan moneter, pemerintah, melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 tahun 1965, menerbitkan uang rupiah baru untuk menggantikan uang rupiah lama dan uang rupiah khusus Daerah Provinsi Irian Barat (IB Rp).
Pada tahun 1965, salah satu kebijakan moneter yang diambil pemerintah untuk menghambat laju inflasi pada saat itu adalah pemberlakuan mata uang rupiah baru bagi seluru wilayah Republik Indonesia (RI) melalui Penetapan Presiden (Penpres) No. 27 Tahun 1965 tanggal 13 Desember 1965 yang menetapkan penggantian uang lama dengan uang baru dengan perbandingan nilai Rp 1.000 (lama) menjadi Rp 1.000 (baru). Tujuan lain dari Penpres tersebut adalah untuk mempersiapkan kesatuan moneter bagi seluruh wilayah RI, termasuk Daerah Provinsi Irian Barat.
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/CF79E6F1-376E-45E5-ADCD-17B9D59587B0/866/SejarahMoneterPeriode19591966.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar