Di
Bawah Serpihan Hujan
Untuk setiap tetes
air yang mendenting kaca jendela…
Ada ucapan rindu.
Salam teruntuk
rindu nan mendalam yang meluruh bersama duka
Menyamar nestapa
di balik sendu.
Lagi-lagi hujan.
Pria bertubuh tinggi langsing itu meraih payungnya
yang berwarna keperakan. Sudah satu minggu berturut-turut hujan turun,
berebutan mencumbu bumi Jerman. Bukan hal yang buruk, mengingat betapa panasnya
musim panas yang lalu. Sudah masuk musim gugur, angin September yang dingin
mulai berhembus. Dedaunan mulai berguguran, seolah bersuka cita akan datangnya
musim gugur.
Pria itu tidak pernah membenci hujan, hanya saja,
siapapun akan membenci hujan apabila harus ke suatu tempat dalam keadaan mobil
pribadinya masih berada di bengkel untuk perbaikan.
Terpaksa mengambil kendaraan umum, Hari berjalan
cepat keluar dari apartemennya. Ia sengaja mengenakan hoodie warna putih yang
tidak mencolok, celana jins butut dan sneakers putih yang sama
bututnya. Sekaligus menyandang ransel warna biru, berisi pakaiannya yang lebih pantas
untuk dikenakan. Mana mungkin dia menemui atasannya di Gucci dengan pakaian
seperti itu.
Buat setiap kilas
yang membayang selaik hantu
Samar, namun jelas
‘Kan menjelang
haturan selama tinggal padamu
Senaas petang nan
kelabu yang melukis mega.
Bagi sebagian orang, dongeng hanyalah isapan jempol
belaka, yang mudah terlupa, papa diseka waktu.
Bagi Hari, putri hujan dan ksatrianya bukan sekedar
dongeng.
Tersebutlah Fathya, putrinya yang mencinta akan
hujan. Duduk di tepian jendela setiap kali hujan datang menyapa, seolah melepas
rindu akan serbuan butir-butir air yang tak kalah merindu akan bumi pertiwi.
Tidakah kau
menghirupnya, ujar perempuan itu, tidakah kau merasaakannya?
Harum hujan
merasuk sukmaku.
Berbagai majas, gaya bahasa dan setiap tutur
perempuan itu berbobot, seakan tiada kata yang lahir dari lisannya yang
sempurna terucap percuma, Semua sarat akan makna.
Sebagai ksatria yang telah bersumpah untuk menjaga
putri itu, bagaimanapun caranya, tentu ia hanya mampu mengulas senyum. Berusaha
memahami hati putrinya yang terlampau cantik untuk ia pahami. Nampak indah dari
parasnya, santun lisannya, kerlip di kedua bola matanya yang sewarna obsidian.
Adalah tugas seorang ksatria untuk menjaga
putrinya. .
Buat getir yang
terdera perih
Kan abai diriku,
Bahkan bila mampu
hujan meluruh pedih
Biar waktu saja
yang hapus liku luka batin, semu.
Hujan semakin deras. Hari membuka payungnya yang
berwarna keperakan. Segera sosoknya menyelip, timbul-tenggelam di antara lautan
manusia Jerman yang menyebrang jalan untuk sampai di halte bus.
Separuh berlari, kakinya menjejak bumi tegas,
Sepatunya kini sudah kuyup terbasuh air hujan, Tapi peduli apa ? Ia ingin
berlari, terus berlari. Berlari dari luka yang mendadak muncul dihatinya.
luruh hujan yang
menderas bumi,
Yang hanyutkan
bermacam labirin luka
Bisakah kau pinta
waktu demi hapuskan luka ini?
Biar hati menetap
untuk menatap, tegar di balik sandiwara.
Aku pergi,
ujar putri itu. Kau bisa menjagaku hingga aku kembali?
Bayangkan betapa sakit hati ksatria itu, ketika
sang putri hanya diam tanpa kata. Ketika Hari bertanya perihal alasan dirinya
pergi, semua dijawab Fathya dengan bisu.
Emosi mendera. Seluruh sel tubuh Hari menjeritkan
penyesalan akan ledakan emosi yang melandanya. Sebuah bentakan yang tak
terkendali melayang darinya.
MENGAPA? KAU MEMBENCIKUKAH? SEPERLU ITUKAH KAU
PERGI?
Kau tidak mau menantiku? Justru pertanyaan
polos itu balasan atasnya. Ksatria itu memutuskan untuk diam, pergi
meninggalkan Fathya yang tergugu dalam sunyi. Sedih.
Aku jatuh cinta kepadamu, Hari menjerit
dalam hati. Namun lisannya terkunci. Aku jatuh cinta kepadamu, hingga
terasa sakit hanya dengan melihat keberadaanmu.
Aku jatuh cinta kepadamu.
Sebuah pengakuan melayang dari bibir Hari, dibalas
bisu seribu kalam oleh Fathya. Pengakuan tanpa balas. Hari sakit hati. Seolah
gadis itu tidak menjawab, entah tersanjung, Atau tersinggung. Berbagai pikiran
dan sugesti akan probabilitas tanggapan Fathya akan pengakuannya berkecamuk,
membuatnya nyaris berteriak. Gila.
Fathya hanya tersenyum, kecil tanpa makna.
Langkahnya kecil, perlahan menjauh, Seolah tidak rela meninggalkan sesuatu yang
berharga. Tatapan matanya sendu, tak lagi nampak binarnya. Binar yang biasa
hadir di balik sepasang mata kumbang itu ketika menatapi hujan, Binar yang
biasa menghuni kedua bola matanya ketika mereka duduk berdua, takzim
menyaksikan panorama senja yang menorehkan lini jingga di horizon barat. Seolah
Hari telah merenggut binar itu dan mematikannya. Sehingga hanya senyum itu yang
menghiasi paras ayunya.
Fathya Zaela, kau
cantik sekali dengan senyummu yang sedih…
Buat hujanku, yang
mewarna senja
Merona layu, bagai
sedih nian
Bila temu sua
selanjutnya akan lama membilang masa
Kenankan aku
menunggu hingga jadi waktu dibangun.
Halte bus itu penuh sesak akan orang-orang yang
hendak naik bus. Semua orang berdesak-desakan, hingga tak ayal Hari pun turut
terdesak. Berdecak kesal, pria itu mengatupkan kembali payung keperakannya.
Sudah basah kuyup, tubuhnya terdesak-desak kerumunan calon penumpang, mobilnya
masih di bengkel, ia nyaris terlambat, belum lagi sepatunya basah. Jelas hari
sialnya.
Sebuah bus berlalu begitu saja, mengangkut sebagian
besar dari calon penumpang yang berdesakan di halte tersebut. Kini hanya
tinggal beberapa orang saja, setia menunggu bus yang akan ditumpangi. Hari
masih asyik dengan lamunannya sendiri ketika sehelai kertas mampir ke wajahnya,
tertiup angin dingin.
“Ah, maaf, itu kertasku.”
Suara feminin itu membuat Hari segera menoleh. Tak
salah lagi, sosok semampai yang kini sedang menatapinya itu. Dia.
Tangan perempuan itu, yang semula hendak mengambil kertas yang mampir ke wajah
Hari, terhenti di udara. Nampak parasnya yang ayu juga tak kalah terkejutnya
dengan Hari.
Di bawah melodi rinai hujan, putri dan ksatrianya
dipertemukan kembali.
Demikian, hingga
telah tuntas masa membilang dirinya,
Dua anak manusia
menemukan sepotong jiwanya dalam satu sama lain
Di belantara deru
angin yang mereguk rindu keduanya,
Bahkan anak-anak
hujan turut bersuka cita atasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar